Senin, 23 Mei 2011

Review : Crazy Little Thing Called Love


Jadi rencana kali ini adalah ngebicarain tentang film Crazy Little Thing Called Love”...
Siapa sih yang gak tau tentang ni film...secara hari gini gitu ya...
Film ini nih ceritanya tentang kisah romance gitu, ada komedinya juga...pokoknya keren abis dah ni film...
Dan kalo menurut penulis pribadi sih film ini tuh salah satu film romance thailand yang berhasil, secara biasanya kan film-film bagus buatan thailand itu yang genre horor...tapi untuk yang satu ini 2 jempol tangan dan 2 jempol kaki dari penulis dah...
Sutradara : Putthiphong Promsakha na Sakon Nakhon, Wasin Pokpong 
Pemain film : Mario Maurer, Pimchanok Luevisetpaibool, Sudarat Budtporm, Peerawat Herapath, Pijitra Siriwerapan, Acharanat Ariyaritwikol, Kachamat Pormsaka Na-Sakonnakorn

Dalam Crazy Little Thing Called Love, seorang gadis berusia 14 tahun, Nam (Pimchanok Luevisetpaibool), untuk pertama kalinya merasakan adanya getaran cinta di dalam hatinya kepada salah seorang seniornya, Shone (Mario Maurer). Masalahnya, dengan wajah Shone yang sangat tampan dan ditambah dengan kepribadian yang menarik serta kemampuan olahraga yang mengagumkan. Nam bukanlah satu-satunya gadis di sekolah tersebut yang jatuh hati terhadap Shone. Dengan wajah dan kepribadian yang biasa saja, jelas Nam bukanlah seorang kontender favorit yang dapat memenangkan hati Shone. Dengan bantuan teman-temannya, dan sebuah buku yang berisi berbagai metode untuk mendapatkan hati seorang pria, Nam mulai melakukan berbagai prubahan pada dirinya. Suatu perubahan yang secara perlahan, tanpa disadari Nam, malah membuatnya menjadi seorang yang lebih baik dari sebelumnya.
Nam dilahirkan dalam kategori wanita yang kurang beruntung. Dalam usianya yang masih 14 tahun, Nam yang berkulit gelap sudah memakai kacamata tebal dan behel untuk merapikan gigi-giginya. Usianya yang belia membuat gadis ini mulai mengenal cinta. Seperti fantasi anak ABG sebayanya, Nam mulai mencari sosok laki-laki yang cakep, putih, tinggi, populer, dan seakan memiliki segalanya.
Cinta pertama Nam jatuh pada Shone, seorang senior yang terkenal di sekolah mereka. Shone memang dianggap memiliki segalanya sehingga masuk kriteria cinta Nam. Namun apalah daya.. Nam bagaikan pungguk merindukan bulan. Seekor itik buruk rupa yang memdambakan serigala tampan. Nam seperti tidak terlihat oleh Shone, seperti tertutup oleh kemilau popularitas Shone sendiri.
Demi cinta, seorang cewek bahkan dapat membalikkan bumi. Dalam liburan musim panas, Nam bersikukuh untuk merubah penampilannya. Mulai dari melepas behel dan kacamata pantat botolnya, hingga memutihkan kulitnya. Nam tidak sendiri. Selalu ada teman-temannya yang membantu Nam untuk bisa mendapatkan cintanya. Tak hanya merubah penampilan fisiknya, Nam pun mengikuti drama sekolah dan mengambil peran sebagai Putri Salju hingga berlatih sebagai seorang mayoret marching band agar bisa menarik perhatian Shone.
Kini Nam adalah sosok wanita yang sempurna. Setelah bertransformasi dari seekor itik burup rupa menjadi seekor angsa putih yang anggun, masalah tetap muncul. Nam kini bisa memikat hati seluruh kaum adam di sekolahnya. Namun seluruh usahanya seakan tetap tidak bisa menyentuh Shone. Masih ada rival dalam perjalanannya mendapatkan Shone. Masih ada Pin, siswi terpopuler di sekolah yang sama-sama menyukai Shone sejak lama.
Masalah bertambah pelik ketika Nam mengetahui kenyataan bahwa Top, sahabat Shone sejak kecil ternyata menyukai Nam. Cinta segiempat.. Bagaimanakah kisah ini akan berakhir? Akankah pada akhirnya Nam bisa mendapatkan Shone? Ataukah usahanya akan menjadi sia-sia?
Film ini seakan oase di tengah berbagai macam film yang menuntut kita untuk memutar otak. Inti cerita yang simple namun menghibur sepertinya cocok untuk menjadi tontonan di masa senggang. Film yang memang diperuntukkan untuk remaja ini seakan mengedepankan stereotip bahwa cantik itu putih dan sempurna. But, every women are beautiful, right?
Ya… jalan cerita Crazy Little Thing Called Love sangatlah sederhana dan menarik. Sama sederhana dan menariknya dengan pengalaman siapapun pada saat mereka sedang mengalami jatuh cinta untuk pertama kalinya. Dengan jalan cerita yang sangat familiar, jelas keunggulan utama film ini bukan berada pada naskahnya. Walau begitu, naskah cerita yang ditulis oleh dua sutradara film ini, Putthiphong Promsakha na Sakon Nakhon dan Wasin Pokpong, sama sekali tidak buruk mengingat mereka berhasil memadukan jalan cerita yang sederhana dan familiar tersebut dengan elemen komedi yang banyak tercermin dari dialog-dialog yang segar di sepanjang film ini serta, tentu saja, kisah cinta yang mampu menyentuh siapapun yang pernah merasakan jatuh cinta itu sendiri. Cukup manis kan?
Letak keberhasilan utama Crazy Little Thing Called Love dalam menyampaikan jalan ceritanya adalah karena sutradara film ini berhasil mendapatkan jajaran pemeran yang mampu dengan sangat baik menghidupkan setiap karakter yang mereka bawakan, khususnya Pimchanok Luevisetpaibool yang berhasil memerankan karakter Nam dan menjadikannya sebagai sesosok karakter yang sangat menyenangkan di balik seluruh keluguannya dalam mengenal cinta pertamanya. Karakter Nam sendiri menjadi terasa begitu hidup berkat dukungan tiga karakter sahabatnya yang selalu dapat diandalkan dalam memberikan berbagai adegan komedi untuk film ini.
Sebagai lawan main Pimchanok Luevisetpaibool, aktor muda, Mario Maurer, memang sangat tepat untuk memerankan Shone yang menjadi idola seluruh gadis di sekolahnya. Walau sepertinya hal tersebut tidak membutuhkan kemampuan akting yang terlalu mendalam, penampilan Maurer sebagai Shone tidak sepenuhnya mengecewakan. Setidaknya ia juga berhasil dalam menampilkan sisi sensitif karakternya yang datang ketika karakter tersebut berhubungan dengan masalah masa lalu sang ayah atau perjuangannya dalam berusaha untuk membuktikan kemampuannya dalam bidang fotografi dan sepakbola.
Sama seperti film-film drama komedi sejenis yang mengisahkan mengenai transformasi seorang karakter yang biasa saja pada awalnya menjadi seorang karakter yang menarik di akhir cerita, Crazy Little Thing Called Love juga berjuang untuk mempertahankan sisi menarik kisahnya ketika sang karakter utama telah berubah menarik. Sayangnya, usaha ini dapat dikatakan kurang begitu dapat dieksekusi dengan baik ketika bagian pertengahan film ini terasa sedikit hambar jika dibandingkan dengan bagian sebelumnya.
Plot cerita tambahan mengenai guru Nam, Inn (Sudarat Budtporm), yang dikisahkan mengejar perhatian guru lainnya, juga kurang berhasil mengisi kekosongan ruang dalam film ini dan seringkali hanya terasa sebagai perulangan kisah cinta Nam namun berasal dari karakter yang lebih dewasa. Bahkan pada akhir film ini bisa dikatakan agak sedikit mengecewakan karena terkesan agak memaksa. Memang pada bagian ketika Shone membuka album foto tentang Nam bisa dibilang cukup menyentuh, tapi setelah itu justru membuat penonton bertanya dengan endingnya, Lho kok gitu sih endingnya????
Tapi secara keseluruhan film ini bisa dibilang sukses dalam menghibur penontonnya...
Ya setidaknya kita bisa merasakan kesegaran film ini ditengah maraknya film-film tentang kisah cinta dewasa yang cukup serius...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar